—menulis; sebuah usaha penyembuhan
Saya tidak membawa harapan yang diinginkan akun Bagus itu. Saya mengubunginya ketika petang telah datang. Sebetulnya, saya tidak lekas memberitahu Bagus atas apa yang terjadi, saya tahu bagaimana rasanya menunggu, rasanya kecewa, rasanya menunggu dan berakhir kecewa. Apa boleh buat, yang terjadi, terjadilah. Meski Bagus mengatakan tidak apa-apa dan meminta maaf telah merepotkan. Ada rasa penyesalan dalam diri saya.
Saya menyesal, mengapa saya tidak mengabadikan kolom puisi Pikiran Rakyat ke dalam foto. Mengapa saya terlalu egois, hanya mengambil gambar puisi saya saja.
Maka, dengan adanya kejadian semacam ini, menjadikan pembelajaran untuk saya ke depan, untuk tidak mengabaikan hal-hal yang ada di sekitar saya. Suatu hari nanti, jika saya kembali menembus koran, saya akan mengabadikan pula karya rekan satu kolom. Untuk berjaga-jaga, setidaknya jika terulang kembali kejadian serupa. Siapa tahu, bukan?
Teringat dengan perpustakaan daerah di sekitar lingkar Dadaha, barangkali ada. Saya pernah ke sana dengan teman, entah tahun 2017 atau 2018. Saya melihat tumpukan benda persegi yang besar, dan saat saya perhatikan lebih ternyata itu koran-koran lama yang diarsipkan. Koran tahun sebelum saya lahir punn ada, bahkan jauh sebelum itu. Saya yakin perpusda menyimpan arsip koran PR edisi 29 April 2019!
Kalian mungkin bertanya, mengapa saya begitu bersikeras mencari koran itu?
Pertama, saya hanya ingin membantu. Kalian lebih tahu apa balasan bagi orang yang membantu, memenuhi hajat dan meringankan kesusahan orang lain. Belakangan, saya temukan dalam buku Kisah 1001 Malam jilid 3 yang baru saya beli di Bazar dekat Dadaha:
“Barang siapa yang melepaskan kesusahan orang lain di dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya 720 kesusahan di hari kiyamat.” (hal. 81)
Itu dikatakan oleh perempuan tua kepada pemuda yang membantu membacakan buku untuknya. Kisah-kisah di dalamnya membawa saya ke masa dataran Timur Tengah. Nuansa kerajaan yang kental. Rekreasi pikiran ke masa lalu. Dan…. menyenangkan!
Saya menyesalkan lagi satu hal, kenapa saya hanya membeli jilid tiganya saja? Mengapa tidak keempat jilidnya? Mengapa uang saya tidak cukup.
Kemudian satu penyesalan melahirkan penyesalan berikutnya. Mengapa saya tidak banyak menabung? 😦
Kedua, barangkali karena do’a. Entah itu ibunya atau siapa pun yang mendo`akan kebaikan untuk Bagus. Barangkali saya tergerak membantunya karena do’a-do’a itu, tentu semuanya tak lepas dari kehendak Allah. Saya percaya do’a dapat mendatangkan hal-hal tak terduga.
Kamis, 27 Juni 2019, saya berencana untuk merekreasikan pikiran dan tubuh. Saya merasa butuh melakukan perjalanan di pusaran kesibukan yang tampak absurd bagi saya. Sederhana saja, menaiki angkot menyusuri jalanan dan pergi ke perpustakaan Dadaha. Ada hal lain, saya juga berniat mengunjungi bazar buku yang tidak jauh dari sana.
Tiga kali naik angkot, perjalanan menelan waktu kurang lebih satu jam setengah.
Hal pertama yang saya lakukan adalah melangkah menuju surga bagi para pembaca, perpustakaan.
Banyak perubahan, itu yang terlintas di pikiran kala pandangan saya menyapu keadaan di dalamnya. Cukup ramai, tidak seperti pertama kali ke sini bersama teman saya, Mida. Saya menyimpan tas ke dalam loker abu-abu, tapi tak bisa dikunci. Saya melakukan ini sebagaimana yang pernah saya lakukan dulu. Beberapa kali memindahkan tas, mungkin saja ada yang dapat dikunci. Akhirnya, saya memasukan tas pada loker nomor 11, tidak dapat dikunci juga, tidak masalah. Lagi pula saya ke sini bukan untuk menghabiskan waktu demi hal konyol semacam ini. Memangnya ada yang mau mengambil tas saya?
Saya berjalan ke sekumpulan remaja yang tengah berkerumun dalam satu meja. Mereka mendengarkan musik dan memegang buku, seskali menatap layar dan mengetikkan sesuatu. Mereka mungkin sedang menginput data buku. Saya duga mereka anak SMA yang sedang PPL. Mungkin.
Saya baru sadar tengah menatap mereka dan merka balik menatap saya. Saya berbalik menuju sebuah meja setinggi pundak saya, semacam receptionis, mungkin. Seorang laki-laki menyembul dari bawah setelah saya meminta formulir pendaftaran menjadi anggota perpus.
“A, barangkali perpus mengarsipkan koran Pikiran Rakyat edisi 29 April 2018?” tanya saya.
“Oh, tanya sama Bapak itu saja,” katanya menunjuk pada pria di belakang saya yang tengah duduk. Ia menoleh, ada kaca mata hitam yang bertengger di tulang hidungnya. Belakangan saya baru tahu kacanya seperti jendela bisa dibuka ke atas. Tampak lucu dengan wajahnya yang agak <i>sangar</i>
. Hehehe
Pria itu mengatakan ada di tumpukan koran di arah kiri dari pintu masuk. Dekat sekumpulan remaja yang saya ceritakan tadi. Laki-laki itu berjalan ke arah tumpukaan koran, saya hendak membantu. Hanya saja, tempatnya cukup sempit. Laki-laki itu saja untu masuk ke sana harus melewati satu kursi yang diduduki anank PPL karena menghalangi. Saya berdiri kebingungan.
Saya putuskan untuk duduk mengisi formulir. Laki-laki pencari koran PR itu terdengar mengatakan bahwa tumpukan koran tidak berurutan. Tak lama, laki-laki itu membawa kebahagiaan, setumpuk koran edisi April tahun 2018!
Beberapa detik melakukan pencarian….
Ketemu!
Saya berulang kali berterima kasih padanya. Setelah itu saya duduk menghadap jendela. Dan apa yang saya cari akhirnya saya temukan. Alhamdulillah!
Saya memfoto beberapa kali. Foto secara keseluruhan kolom puisi. Memfoto karya Bagus, dan memfoto lagi puisi saya. Selesai.
Namun, pada akhirnya hal ini sangat saya sesalkan. Pencarian koran cukup lama, ada sekitar belasan menit, sedangkan ritual yang saya lakukan tak sampai lima menit.
Menutup kembali koran dan menyimpan dekat tumpukan koran edisi April 2018 yang masih di atas meja dekat pria berkacamata.
“Pak, ini sudah selesai, boleh saya simpan?”
“Sudah?” ada nada kaget dari suaranya. “Hanya difoto? Kenapa tidak sekalian semuanya difoto?”
Sindiran. Saya tersenyum canggung, dan mengatakan alasan saya mencari koran itu.
Seharusnya saya membacanya, atau tidak membaca pun, setidaknya membuka apa saja untuk mengulur waktu. Menahan koran lebih lama dalam genggaman saya. Agar mereka: pria dan laki-laki itu, tidak merasa kerja keras mereka sia-sia. Beberapa kali saya berterima kasih dan mengiringinya dengan permohonan maaf.
Pak, A, yang ada di perpus Dadaha, terima kasih, maaf saya merepotkan. Semoga kebaikan kalian Allah balas dengan berlipat-lipat. Saya tahu sangat kecil kemungkinan kalian membaca tulisan saya. Tapi, semoga dengan cara apa pun, Allah menyampaikannya pada kalian.
Uh, tiba-tiba saya merasa bersikap manis. Hahahah. Mungkin ini pengaruh musik yang saya dengarkan ketika menuliskaan catatan ini, “I Love You 3000” yang dinyanyikan Stephanie Poetri. Selain suara Stephanie yang menemani, dua camilan kesukaan saya pun turut mewarnai malam yang kelam. Saya tidak kesepian selama manulis sambil memakan seblak kering dan potongan Lumpia kering. Justru menambah kekhidmatan malam. Aiih….
Jika kalian berniat mencobanya, kalian bisa menghubungi saya lewat komentar atau email. Lewat WA juga mangga. Gratis? Ooh, ya, setelah kalian menukarnya dengan sejumlah uang. Begitu.
Iklan lewat. Oops! Hahaha
Saya memainkan ponsel sebentar untuk mengirim foto kepada Bagus.
Selanjutnya, yang saya lakukan adalah membaca buku. Tentu saja. Itu tujuan utama. Merekreasikan pikiran dan jiwa saya yang kesunyian dari bacaan baru. Tiga buku saya ambil untuk saya baca. Milik NH Dini, Putu Wijaya dan Ajip Rosidi. Dua novel dan satu kumpulan esai Sunda.
Kalian tahu, saya tidak mungkin menamatkan tiga buku tebal hanya dalam waktu dua jam. Saya tidak ingat judul-judulnya, tapi saya masih ingat novel NH Dini bercerita tentang Sri. Anak bungsu yang awalnya tidak diharapkan, ia tahu hal ini ketika ibunya sedang marah. Tapi belakangan ia dibanggakan karena kecerdasan dan prestasinya dalam seni tari. Ia fasih berbahasa inggris, dan bekerja sebagai penyiar radio terkenal. Saya hanya membaca samapai bab 2, saat ia agak bersitegang dengan temannya yang senang melukis. Alurnya cukup lambat, tapi saya berniat meminjam buku itu setelah kartu perpus saya jadi.
(Ujung perpus, tempat tersembunyi ketika saya membaca novel NH Dini)
Kalau novel Putu Wijaya, saya hanya menyelesaikan satu bab saja. Saya pikir itu kumpulan cerpen, ternyata novel. Cerita dibuka dengan seorang tokoh mantan bupati 20 tahun yang lalu di daerah Bali—kalau tidak salah ingat. Ia tengah berjalan-jalan menyusuri sebuah daerah bekas “kekuasaannya”. Dalam perjalanannya itu merasa jasanya dilupakan. Ia menyesali beberapa hal semasa menjabat. Kalau tidak salah, ia menyesal kenapa tidak menerima “hadiah” dari orang sebagai sebuah hadiah, tidak menganggapnya sebagai bentuk “korupsi”. Saya tidak banyak ingat, karena tidak familer dengan beberapa istilah yang digunakan.
Nah, esai Ajip Rosidi yang menarik adalah tentang peran Urang Sunda. Apa sebenarnya peran mereka untuk Indonesia? Mengapa sedikit sekali tokoh-tokoh nasional dari Urang Sunda? Padahal pendidikan bertebaran di bumi Sunda, Bandung. Nah, jawabannya ada di buku itu. Agak sulit membaca bahasa Sunda tanpa dibarengi dengan kamus. Saya menyerap informasinya tidak maksimal.
Adzan terdengar, dan jam menunjukan hampir jam dua belas. Saya membaca bahwa perpus istirahat ketika jam 12:00-13:00. Itu artinya perpus tutup untuk sementara.
Saya berjalan keluar. Sebenarnya ada yang kurang—dan saya pikir tidak sopan, kebiasaan saya keluar perpus di kampus berpamitan pada pustakawan dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi ini sangat canggung sekali untuk saya lakukan, dan saya meninggalkan perpus begitu saja. Oh, ya, saya tidak melupakan tas di loker. Kalian tahu, saya baru saya bahwa loker itu untuk pegawai perpus. Sedangkan tas/barang di tempat sebelahnya di tempat penitipan barang. Hal itu saya tahu sebelum saya keluar. Duh! Pantas salah seorang–yang saya duga– pegawai perpus mengamati saya saat mengambil tas.
Baiklah, ini sudah terlalu panjang, padahal saya ingin menceritakan pengalaman saya ke Bazar Buku. Mungkin di lain waktu. Semoga.
Sebagai penutup saya berpesan:
- Bantulah orang dengan semampunya, lebih jauh, lebih baik.
- Berdo’a, barangkali do’a itu memuluskan perjalanan hidupmu
- Semoga kesalahan yang saya perbuat dalam catatan ini menjadi bahan pembelajaran
- Kalian bisa mencoba rasa Seblak dan Lumpia kering dengan memesannya. 😉
Itali, Sabtu 29 Juli 2019.